FENOMENA LITERASI DI SEKOLAH DAN LINGKUNGAN

Penulis: Ujang Sugara, M.Pd

Literasi dalam kehidupan sehar-hari masyarakat, terutama masyarakat Indonesia masih berada dalam definisi sempit dalam mengartikan literasi. Mengartikan membaca pun masih bersifat reseptif. Artinya, masih pada tahap sekadar memahami bacaan atau mengerti informasi yang tertuang dalam tulisan (Purbani, 2014). Hakikat literasi lebih dari kegiatan reseptif, kegiatan membaca reseptif merupakan fragmen dari literasi. Literasi pada dasarnya memiliki tujuan untuk membuat manusia menjadi literat.

Terdapat perbedaan antara orang literat dengan illiterate. Orang yang literat sepakat bahwa literasi menjadi alat untuk menjaga hubungan sosial secara berkelanjutan sedangkan orang yang illiterate memiliki kecenderungan untuk melakukakan pertengkaran dan kekerasan sebagai upaya untuk menghentikan konflik. Orang yang illiterate memiliki kecenderungan mudah marah dan tersinggung (Osalusi & Oluwagbohunmi, 2014).


Literasi dipahami sebagai alat untuk berekspresi. Untuk dapat berekspresi tentu harus melewati tahap reseptif kemudian menganalisis, dan dapat mengemukakan sesuatu berdasarkan analisis. Pengertian dari literasi akan berkembang seiring majunya zaman, untuk saat ini literasi dapat dimaknai sebagai berpikir kritis, memecahman masalah, dan mengembangkan ilmu pengetahuan dan potensi seseorang (Subandiyah, 2017). Adapun pengertian lain dari literasi yakni kemampuan untuk memahami, mengakses, dan menggunakan sesuatu secara cerdas melalui bermacam aktivitas seperti mengamati, menyimak, membaca, menulis dan/atau berbicara (Faizah et al., 2016). Dari definisi tersebut, literasi memiliki arti yang luas dan beragam dan bukan bermakna tunggal.


Berangkat dari definisi literasi di atas, tentu literasi menjadi penting untuk memajukan pendidikan dan bermuara pada peningkatan kualitas hidup bangsa. Kecerdasan dan pengetahuan yang didapatkan dari pendidikan dapat menentukan kualitas suatu bangsa, dapat dikatakan semakin tinggi pengetahuan pada suatu bangsa, berbanding lurus dengan peradaban bangsa tersebut (Permatasari, 2015).


Pada ruang lingkup keluarga dan masyarakat, beberapa penelitian menyebutkan budaya literasi di negara ini cenderung rendah, salah satu faktor yang mempengaruhi rendahnya budaya literasi tersebut yakni berkaitan dengan media audio-visual (Damayantie, 2015). Kemunculan dan meroketnya media audio-visual pada negara ini menjadi suatu permasalahan yang perlu dipikirkan dan dicari solusinya secara Bersama-sama. Bangsa ini melewatkan tahap membaca dan langsung beranjak ke tahap audio-visual yang diasumsikan lebih menarik dan praktis dalam mendapat informasi.


Kemajuan teknolgi dan informasi secara nalar dan logika harusnya bukan menjadi kendala terhadap budaya literasi, seharusnya kemajuan yang ada mendukung terhadap budaya literasi, asumsinya seperti itu. Kenyataannya, kemajuan dalam bidang komunikasi tersebut membuat budaya literasi semakin turun dari waktu ke waktu yang berakibat pada stagannya atau bahkan menurunnya kecerdasan bangsa ini. Fenomena tersebut tentu sangat menarik untuk dikaji. Ada apa? Tak sedikit manusia-manusia yang lebih malas memahami lambang dan simbol yang kaya akan makna dan pengetahuan dan memiliki alur yang kompleks. Manusia-manusia saat ini lebih memilih budaya audio-visual yang menawarkan kemudahan dan mendapat gambaran-gambaran secara nyata.


Sajian informasi audio-visual memiliki miskin makna dan pengetahuan, karena dalam penyajiannya hanya disampaikan secara subjektif, artinya tergantung dari siapa yang menyampaikan informasi tersebut, apakah memiliki kepentingan lain dalam menyampaikan informasi atau tidak. Tak sedikit pula yang percaya akan kebenaran informasi tersebut tanpa melakukan analisis mengenai kebenaran informasi yang diberikan. Wajar jika banyak fenomena orang-orang termakan berita bohong atau hoax. Sebenarnya tak ingin mengakui, namun begitulah realitanya.


Pemerintah mengupayakan untuk meningkakan kebudayaan literasi di negara ini, salah satunya yakni di sekolah dalam Gerakan Literasi Sekolah. Dalam penerapan Gerakan Literasi Sekolah, terdapat fenomena-fenmoena unik beberapa diantaranya yakni mengenai tujuan dari Gerakan Literasi Sekolah. Tujuan Gerakan Literasi Sekolah memiliki pemahaman yang berbeda antara satu dengan yang lain. Penelitian yang dilakukan oleh Winarsih & Bawawa (2019), salah satu narasumber dalam penelitian tersebut berujar bahwa tujuan literasi GLS yakni minat baca peserta didik menjadi meningkat, narasumber yang lain mengatakan literasi sebagai media rekreasi.

Berpendatan, dan media berlatih memecahkan masalah, dan dua narasumber lain mengatakan sebagai upaya dalam menambah wawasan bagi. seluruh warga sekolah dan saling mendukung dalan upaya menambah wawasan tersebut.
Berangkat dari definisi dan pemahaman yang bergam menimbulkan praktik yang beragam juga dalam Gerakan literasi sekolah. Penelitian yang dilakukan oleh Khotimah et al., (2018) hasil yang ditemukan yakni dalam pelaksanaan Gerakan literasi sekolah, kegiatan literasi sekolah diisi dengan kegiatan membaca selama lima belas menit sebelum memulai pembelajaran pada tiga kelas, tiga kelas lain mengisi kegiatan literasi dengan kegiatan membaca senyap dan belanjut dengan menceritakan Kembali isi bacaan yang dibaca dan melakukan diskusi.


Faizah et al., (2016) mengemukakan bahwa terdapat tiga tahap dalam Gerakan Literasi Sekolah di SD, yang pertama tahap pembiasaan, tahap pengembangan, dan tahap pembelajaran. Tiap tahap memiliki fokus masing-masing. Pada tahap pembiasaan, ditujukkan pada peserta didik kelas rendah yang memiliki fokus membacakan buku secara nyaring dan membaca dalam hati dan menimbulkan empati dalam menyimak apa yang dibacakan guru atau membaca nyaring. Adapun pada tahap pengembangan memiliki fokus seperti guru membacakan nyaring interaktif, membaca buku bergambar Bersama, membaca mandiri, dan menggambar tokoh atau menulis beberapa kata dalam cerita, sedangkan pada tahap pembelajaran, kegiatan Gerakan Literasi Sekolah sudah terintegrasi kedalam pembelajaran tematik yang digunakan di Sekolah. Guru mencari metode untuk mengembangkan kemampuan literasi dengan melakukan penelitian Tindakan kelas. Adapun dengan mengembangkan rencana pembelajaran dengan memanfaatkan media dan bahan ajar yang beragam, serta guru. menerapkan berbagai strategi membaca untuk meningkatkan pemahaman peserta didik terhadap materi pembelajaran.


Pada kasus di atas mencerminkan bagaimana kegiatan Gerakan Literasi Sekolah di Indonesia berjalan. Kegiatan tersebut masih pada pada tahap pembiasaan dan pengembangan. Pada tahap pembiasaan karena kegiatan literasi hanya sekadar membacakan dengan nyaring tanpa ada diskusi. Lebih lanjut pada tahap pengembangan, sudah ada kegiatan yang bersifat interaktif seperti bertanya atau berdiskusi mengenai bacaan, sedangkan belum ditemukan fenomena yang mengintegrasikan Gerakan Literasi Sekolah ke dalam pembelajaran.


Indonesia membutuhkan metafora agar dapat menghentikan litrasi yang sangat rendah namun tidak menutup upaya untuk berkembang ke arah yang lebih baik. Di negara yang sudah baik literasinya pun masih menggunakan metafora-metafora yang cukup mengerikan, katakanlah Kanada yang memetaforkan illiteracy sebagai tindakan kriinalitas, Amerika Serikat memetaforakan illiteracy sebagai drain on the economy. Lantas bagaimana dengan Indonesia?


Metafora yang berkembang di Indonesia masih sebatas illiteracy disamakan dengan buta aksara. Tidak salah juga jika demikian. Namun Ketika masalah buta aksara sudah terselesaikan, apakah artinya masyarakat Indonesia sudah dikatakan sebagai masyarakat yang berliterasi? Belum tentu. Toh, jika sudah bebas dari buta huruf, apakah masyarakat Indonesia akan membaca dan terus membaca? Realita yang terjadi saat ini tidaklah demikian. Banyak yang sudah melek aksara namun tidak menjadikan membaca atau literasi sebagai budaya.
Tidak tepat rasanya jika metafora iliterat dikatakan sebagai buta aksara. Indonesia butuh metafora-metafora lain yang lebih sadis dan mengerikan serta menggigit dalam memetaforakan iliterasi. Setidaknya metafora yang dipakai untuk saat ini harus sama dengan Kanada atau Amerika Serikat yang memtaforakan iliterasi sebagai kemiskinan dan tindak kriminalitas,


Berdasarkan kasus-kasus yang tertulis dan terjadi di Indonesia, Indonesia masih belum terbentuk ekologi literasi karena literasi yang terjadi saat ini belum saling mempengaruhi antara individu dengan lingkungan. Artinya hanya sebatas literasi untuk diri sendiri dan belum ada manfaat yang ditimbulkan dari Gerakan literasi yang berdampak pada lingkungan, untuk mengarah kesana perlu dilakukan dan didukung oleh seluruh elemen yang ada seperti individu, media masa, perguruan tinggi, dan masyarakat untuk membentuk suatu ekologi literasi.


Pendidikan literasi yang terjadi atau di Indonesia lazim dengan istilah Gerakan Literasi Sekolah, umumnya yang terjadi hanya menekankan pada satu dimensi saja, yakni dimensi linguistik. Dalam hal ini hanya menekankan pada membaca saja, pun dimensi linguistik hanya membaca saja, ada aspek lain seperti menulis, menyimak, dan berbicara. Untuk itu, perlu diperhatikan dan dilakukan upaya-upaya untuk mencapai dimensi lain.
Upaya-upaya yang akan dilakukan tidak hanya dari satu dua unsur saja, untuk mencapai tahap dimensi-dimensi literasi yang disebutkan Kucer, perlu memperbaiki mengenai konsep literasi dan berfikir kritis dan mengaitkan bacaan dengan aspek-aspek di luar bacaan yang masih relevan dengan teks bacaan seperti mengaitkannya dengan kehidupan, mendapatkan berbagai makna, mengkomunikasiannya secara lisan ataupun tulisan.


Kunci dari bangsa yang berkualitas yakni dengan menciptakan generasi yang berbudaya literasi. Untuk mengarah kesana perlu adanya rekonstruksi pembelajaran dan literasi yang dapat meningkatkan aktivitas peserta didik dengan mengintegrasikan literasi ke dalam muatan-muatan pembelajaran yang ada disekolah. Model literasi bukan hanya peserta didik memiliki kapasitas mengenai makna konseptual, melainkan kemampuan partisipasi aktif dalam menerapkan pemahaman sosial dan intelektualnya (Permatasari, 2015), serta membawa apa yang didapatkan di sekolah ke dalam kehidupan di luar sekolah dan menjadi virus yang baik di lingkungannya.

Pembelajaran yang terjadi saat ini harus dilaksanakan dengan mengembangkan kognitif, analisis, sintesis, evaluasi, dan kreasi melalui suatu kajian terhadap kondisi sosial dengan berpikir kritis dan cermat. Itu kunci untuk meningkatkan kualitas pendidikan yang mengandung muatan praktik literasi yang ada di Indonesia. Fenomena atau isyu yang terjadi di luar sekolah jika dibawa ke pembelajaran akan lebih mudah membetuk kompetensi dan mengembangkannya.

DAFTAR PUSTAKA
Damayantie, A. R. (2015). Literasi Dari Era Ke Era. Sasindo: Jurnal Pendidikan Bahasa Dan Sastra Indonesia, 3(1), 1-10. http://103.98.176.9/index.php/sasindo/article/view/2076/1652
Faizah, D. U., Sufyadi, S., Anggraini, L., Waluyo, Dewayani, S., Muldian, W., & Roosaria, D. R. (2016). Panduan Gerakan Literasi Sekolah Di Sekolah Sekolah Dasar. In Journal of Chemical Information and Modeling (Vol. 53, Issue 9).
Khotimah, K., Akbar, S., & Sa’dijah, C. (2018). Pelaksanaan Gerakan Literasi Sekolah. Jurnal Pendidikan: Teori, Penelitian, Dan Pengembangan, 3(11), 1488-1498. http://journal.um.ac.id/index.php/jptpp/EISSN: 2502-471X DOAJ-SHERPA/ROMEO-Google Scholar-IPI%0Ajurnal
Osalusi, F. M., & Oluwagbohunmi, M. F. (2014). Perspectives on Literacy as a Tool for Sustainable Social Relationship. International Journal of Education and Literacy Studies, 2(1), 40-45. https://doi.org/10.7575/aiac.ijels.v.2n.1p.40
Permatasari, A. (2015). Membangun Kualitas Bangsa dengan Budaya Literasi. Seminar Nasional Bulan Bahasa UNIB, 146-156.
Purbani, W. (2014). PENDIDIKAN MEMBACA KRITIS DALAM TANTANGAN KEJAMNYA MEDIA ABAD 21. 12-26.
Subandiyah, H. (2017). Pembelajaran literasi dalam mata pelajaran bahasa indonesia. Paramastra, 2(1).
Winarsih, S., & Bawawa, M. (2019). Gerakan literasi di Sekolah Dasar. Musamus Journal of Language and Literature, 2017, 810-817. http://ejournal.unmus.ac.id/index.php/lite/article/view/2418